
Fenomena hijrah saat ini tidak jarang dimaknai secara sempit oleh segelintir umat Muslim masa kini apalagi oleh kaum millenials. Hijrah sejatinya meliputi aspek yang cukup luas mengenai perubahan diri dan jiwa, dari arah yang kurang baik menjadi lebih baik dengan tujuan hanya kepada Allah SWT.
Secara harfiah, kata hijrah adalah lawan kata al-washal (sampai/tersambung). Kata hijrah merupakan bahasa Arab yang asal katanya adalah hajarahu-yahjuruhu-hijran-hijranan. Bentuk isinya maupun kata benda dari kata ini adalah al-hijrah.
Dalam kitab Hijrah tentang Pandangan Alquran karya Ahzami Saimun Jazuli disebutkan dalam bukunya bahwa makna hijrah dalam Syar'i cukup beraneka ragam jika ditinjau dari berbagai definisi. Para ulama biasanya memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai makna kata hijrah ini.
Menurut pendapat pertama, hijrah diartikan sebagai peralihan dari negara kafir atau kondisi perang (daarul kufri wal-harbi) ke negara muslim (daarul islam). Pendapat ini diungkapkan oleh Ibn Arabi, Ibn Hajar al-Aswalani dan Ibn Taymiyyah.
Adapun yang dimaksud dengan negeri kafir, menurut mereka ialah negara yang diperintah atau yang pemerintahannya dipimpin oleh kafir dan hukum yang ditegakkan oleh mereka. Adapun Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa negara yang dikategorikan daarul kufri, daarul iman atau daarul fasik, bukan karena sifat negaranya, melainkan karena fitrah rakyatnya.
Para ulama dalam kelompok ini berpendapat bahwa hijrah diperlukan untuk orang-orang yang mampu. Karena mereka yang tidak bisa berhijrah lepas dari kewajiban hukum untuk berhijrah.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Alquran Surah An-Nisaa ayat 98 yang artinya: “Kecuali mereka yang tertindas bagi laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah), ".
Adapun pendapat kedua yaitu hijrah berdasarkan makna syar'i adalah berpindah dari negeri para orang zalim (daarul zulmi) ke negeri glongan orang-orang shalih (daarul adli) dengan maksud menyelamatkan agama. Daarul adli bisa diartikan sebagai negara yang diperintah oleh orang kafir, namun memiliki toleransi yang besar.
Kelompok ini menegaskan bahwa hijrah dan tuntutannya ditujukan kepada mereka yang benar-benar berada di bawah tekanan sistem non-Islam. Hal ini diilustrasikan oleh Nabi ketika ia memerintahkan umat Islam untuk hijrah ke Habasyah dengan alasan ada seorang raja yang tidak pernah berbuat salah kepada siapapun.
Pendapat ketiga, Ibnu Arabi sepakat dengan pendapat pertama. Akan tetapi beliau lebih condong kepada makna yang lebih luas mengenai hijrah yang terdiri dari berbagai aspek.
Pertama, meninggalkan negari yang sedang terjadi peperangan menuju ke negari Islam. Kedua, meninggalkan negari yang dihuni oleh ahli-ahli bid'ah. Ketiga, meninggalkan negari yang penuh dengan hal-hal haram sementara seperti yang telah kita ketahui bahwa mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap kaum Muslim.
Keempat, melarikan diri demi keselamatan jiwa. Kelima, takut tertular penyakit di negari yang terkena wabah, jadi dia meninggalkan negari itu menuju negari yang sehat tanpa wabah. Dan keenam, melarikan diri untuk keamanan harta.
Namun, hijrah juga sering diartikan sebagai perjalanan manusia di muka bumi untuk mencari hikmah, pengetahuan dan nasehat. Pendapat keempat tentang hijrah datang dari para sufi.
Di mana mereka kerap pergi untuk mendekatkan diri dengan kebiasaan-kebiasaan baik, berbeda pendapat untuk menganalisis suatu permasalahan, meninggalkan dosa dan kesalahan, dan meninggalkan hal-hal yang menjauhkan diri dari kebenaran.
Hijrah tidak menuntut perubahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah terkadang dilakukan dengan mengisolasi diri dari hiruk pikuk kehidupan pada umumnya.
Para sufi melakukannya dengan tidak bergaul dengan para pelaku maksiat dan kemungkaran, menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk, dan meninggalkan para pembuat onar dan permusuhan.
Para sufi pun kerap menerapkan hijrah dengan meninggalkan akhlak yang buruk, atau meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjerumuskan manusia dari kehinaan, dan meninggalkan pembicaraa yang menjurus pada kemewahan-kemewahan duniawi. Makni]a ini dimasukkan sebagai arti dari hijrah secara syar’i, akan tetapi spesifikasi hal ini ditempatkan oleh para sufi sebagai satu tingkatan di antara tingkatan-tingkatan menuju sufi.
Tags:
Kajian & Teori